Sebulan setelah lebaran Idul Fitri
Waktu itu... Melihatmu bersama dengan orang lain adalah ketakutan terbesar dan kesedihan terdalam. Lalu tragedi itu terjadi, tragedi itu adalah sebuah kejadian lebih buruk dari apa yang sebelumnya selalu aku takutkan. Maka untuk membayar sesuatu yang besar aku harus membayar dengan harga yang pantas. Termasuk melepaskan harapanku padamu. Sebuah harapan besar yang aku lepaskan penuh kerelaan.
Waktu itu... Melihatmu bersama dengan orang lain adalah ketakutan terbesar dan kesedihan terdalam. Lalu tragedi itu terjadi, tragedi itu adalah sebuah kejadian lebih buruk dari apa yang sebelumnya selalu aku takutkan. Maka untuk membayar sesuatu yang besar aku harus membayar dengan harga yang pantas. Termasuk melepaskan harapanku padamu. Sebuah harapan besar yang aku lepaskan penuh kerelaan.
Aku pernah menginginkanmu secara berlebihan
Lalu saat tragedi itu terjadi, ditengah kebingungan, kesedihan dan pupusnya harapan aku berikrar pada-Nya
Ya Allah, bila semua ini adalah teguran
Bila harapku padanya memang sesuatu yang berlebihan,
tak mengapa bagiku bila ia tidak menjadi jodohku ya Allah, aku hanya ingin dia sembuh
Ya Allah, aku akan melakukan apa saja untuk kesembuhannya.
Bilapun menjauh darinya adalah keharusan, maka itupun akan aku lakukan.
Entah itu kebetulan ataukah itu jawaban
Dua bulan kemudian ia menunjukkan tanda-tanda pulih...
Mungkin doa-doa banyak orang telah terkabulkan
Mungkinkah doa penuh kerelaan itu menjadi salah satunya ?
Hanya Dia yang tau
***
Aku lebih tenang sekarang
Tangis dan rasa sakit psikis sudah mulai bisa ku kendalikan
Meski masih sulit mengembalikan beberapa kerentanan sejak kejadian itu
Aku tidak akan menyerah mengembalikan diriku yang penuh semangat dan harapan
***
KILAS BALIK
Terlalu banyak pertanyaan tentang dia.
Bagaimana ? Dimana ? Siapa ? Berapa lama ? Bagaimana kalau ? Bisakah ?
Dua tiga bulan pertanyaan dasar, lebih menanyai dia. Tiga bulan selanjutnya lagi, pertanyaan mengarah padaku. Sinisme.
Maka aku tulis ini untuk sinisme, dukungan, pemakluman ataupun pengacuhan yang aku dapatkan.
Apa yang ku tulis adalah argumentasiku sendiri. Beginilah caraku melihat sesuatu. Bila aku menyinggung siapapun, maafkan. Kebenaran sejati adalah kebenaran itu sendiri, bukan ?
***
Terlalu banyak audiens dan terlalu banyak pertanyaan yang sama dilontarkan oleh orang yang berbeda. Beberapa palsu, beberapa lagi sombong, beberapa lagi ucapan meremehkan, lainnya semangat seadanya, ingin tau yang tidak disertai ingin bertindak. Sebagian kecil penonton.
Pernahkah kau berfikir tentang persepsi ratusan orang dan kau harus meladeni semua respon mereka, menganalisis setiap interaksi dan sebab akibatnya, memikirkan pengambilan tindakan bagi yang seratus tadi dan memikirkan akibatnya, untuk dia, keluarganya, rekan kerja, rekan organisasi mahasiswa, osis, pramuka, BNN, TSC, Ins**t, lembaga J******ri, lembaga E****, W***i, teman SD, SMP, SMA, teman kuliah, dan sahabat dekatnya ?
Menurutmu ringan ?
Beberapa dari kalian sedang berfikir aku mendramatisir keadaan, beberapa lagi kasihan, tapi aku hanya ingin satu hal. Setiap orang berhak memilih. Bagaimanapun pilihan yang diambil nantinya, jangan pernah mencoba mengira segampang apa mereka memilih. Karena bagiku, memilih adalah proses panjang dengan berbagai pertimbangan. Aku tidak akan memilih tanpa membuat diriku merasakan konsekuensi setiap pilihan, sehingga meskipun nanti tidak enak akhirnya,aku tetap siap dan menjalani konsekuensinya. Jadi, hargai saja keputusan orang lain. Toh dia yang menjalani. Toh tidak merugikanmu sama sekali.
Meski banyak asuransi kesehatan menyebut produk mereka sebagai asuransi jiwa, faktanya belum ada satupun asuransi kejiwaan di dunia ini. Karena meski sama-sama tak terduga, kita tidak pernah tau kapan kita akan kehilangan kesadaran kita, dan dengan cara apa kesadaran itu hilang. Beberapa optimisme mendorong kita percaya pada efektifitas manajemen stress dan membahagiakan diri sendiri untuk menjaga kewarasan jiwa. Beberapa yang lain mengatasnamakan kedekatan konteks agama. Beberapa lainnya peran keluarga dan pergaulan teman sejawat. Bagaimana bila aku katakan padamu sekarang, takdir adalah takdir dan seberapapun kita bisa mencegah kemungkinan terburuk, Tuhan mendesain beberapa takdir untuk tidak bisa dicegah.
Beberapa pekerjaan lapangan dengan waktu kerja singkat umumnya tidak memiliki asuransi. Padahal pekerjaan lapangan sendiri, adalah pekerjaan yang sangat beresiko. Baik berhubungan dengan alam ataupun manusia, tidak ada jaminan untuk benar-benar aman. Aku ingat cerita seorang teman yang kehilangan rekannya saat perjalanan air melalui sungai kapuas. Tergulung jeram, padahal ia seorang instruktur arung jeram. Cerita lainnya datang dari rekan dekatku pekerja lapangan juga, yang terkurung dalam mobil yang tergulung arus sungai. Bagi mereka, sudah biasa membelah sungai yang merupakan satu-satunya jalan menuju camp. Hari itu perjalanan tidak selancar biasanya. Cedera dan trauma, meski kini alhamdulillah terlihat baik-baik saja. Itu cerita rekan lapangan yang berhubungan dengan alam. Lain lagi yang berurusan dengan manusia. Pengalaman diusir, diintimidasi dan disekap adalah resiko lainnya yang tak pernah diduga apakah berkemungkinan terjadi atau tidak. Semua tindakan preventif hanyalah perkiraan saja. Resiko lain yang banyak orang memilih tidak percaya adalah adanya "kiriman". Tidak kasat mata, tapi menimbulkan gejala fisik maupun psikis sangat mencolok. Dapat berupa kehilangan fungsi alat gerak, rasa sakit yang tak teranalisa dokter sampai kehilangan kewarasan dimana secara fisik sehat namun tautan antara memori dengan motorik tidak sinkron.
Kondisi terakhir itulah yang sedang dirasakannya.
Aku sudah lelah memposisikan diriku sebagai dia. Secara empati, aku mampu merasakan lebih banyak energi perasaan yang sedang dirasakan orang lain. Sehingga saat aku berempati pada orang yang sedang senang, maka aku bisa sangat senang sekali. Begitu pula saat berempati pada yang sedang sakit, maka aku bisa sangat sakit sekali.
Itulah yang ku rasakan selama aku menghabiskan waktu mendampinginya. Meski tidak lama, seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, aku sudah membuat pilihan.
***
Kabar buruk burung gagak.
membawa hitamnya melintasi langit biru yang temaram sinar rembulan malam dua belas april. teriaknya tinggalkan tanya musabab. meneruskan kelam pada perjalanan sebelumnya. setahun lalu aku berpijak ke tanah ini, aku terkagum. namun malam tadi tak seindah pengalaman yang pertama rumah berjarak susun rapi,pohon-pohon yang dibiarkan tumbuh menjulang tinggi memberikan keindahan di siang hari namun tidak di malamnya.
susunan pohon seolah tabir penutup rahasia tanah ini. entah apa yang sebelumnya ada disini, pernah disini dan masih disini. kau harus lihat sendiri bersamaan dengan rasa takut dan kegelisahan. sekali kali tidak kau menemukan keindahan, tidak sekalipun. sedikit membuka kaca mobil bahkan membuat nyaliku ciut. coba kau tanyakan seperti apa kondisi disini sebelum sekelompok orang berasal dari sebuah pulau terpadat penduduk di indonesia datang kesini. jawablah dengan imaji analisis spiritual. kerajaan makhluk tak kasat mata bisa jadi daratan yang sangat mematikan. binatang buat, air yang pasang surut tak menentu, tanah yang amblas da sederet keganjilan lainnya.
Tidakkah ngeri ?? hanya orang yang nekat dan terdesak yang akan pindah kesini. tak satupun percakapan sejarah tentang kedatangan suku itu kesini. Jelas bahwa bukan pada era program pemindahan besar-besaran lintas pulau. bukan transmigrasi.tak tau pasti pula apakah mungkin mereka orang pelarian perang.
Mereka hanya meyakini bahwa mereka berketurunan jawa namun berbahasa ibu jawa kasar dan melayu. Malam disini begitu dingin dan ganjil. Permukaan tanah datar yang misterius. Parit-paritnya kosong -lalu terisi air asin pada malam-malam tertentu.
Bagaimana mungkin raganya yang begitu sehat punya jiwa yang sakit di dalam. Aku masih bisa berbicara dengannya hari minggu. Dia sedang dalam perjalanan ke pekanbaru karena persoalan kesehatann kesulitan bicara. Ia ingat harus makan dan saat dia sedang makan aku sempat meneleponnya. Sepengetahuanku dari keluarganya magrib ia sudah sampai. Berbicara sulit hingga berbicara aneh aneh. Senin aku kehilangan kabar. Adiknya bilang malam itu dia ruqiah di seorang guru. Esoknya aku tau dari cerita keluarganya, Peruqiah sebelumnya meminta dia agar dibawa ke orang yang lebih hebat lagi darinya. Selasa pagi aku muncul di rumahnya. Kata orang tuanya dia langsung tersenyum melihat kedatanganku. Lalu ia mengingatkan aku janji untuk menemaninya berobat sampai sembuh. Seingatku yang aku buat di line adalah aku akan lakukan apapun asal abang sembuh. Sepertinya ini adalah sebuah ujian yang panjang mengingat kondisinya yang semakin tidak stabil. Banyak orang yang dia tidak ingat. Akupun jadi curiga antara kerasukan atau dia merasa sakit di kepalanya. Beberapa rasa sakit menyebabkan perubahan psikis pada beberapa orang dan aku fikir itu bisa jadi juga terjadi padanya. Sering kali beberapa rasa sakit tak bisa dituliskan. Terlalu sakit terlalu pahit. Aku bisa saja menolak ikut. Bisa saja lari bersama kesibukanku. Tapi aku memilih melangkahkan kakiku bersama mereka. Memilih masuk dalam xenia merah bata yang setelah beberapa kali berhenti dan satu penyeberangan selat membawaku ke desa Bantan sari tempat ia biasa tinggal saat ke lapangan. Air mataku sudah habis stoknya kemarin. Dua hari aku habiskan waktu di rumahnya dengan harapan saat ia sadar dia bisa melihatku dan merasa bahwa dia tidak sendirian, dan banyak orang mendukungnya berharap kesembuhannya. Aku teringat malam rabu saat ia baru saja kembali dari pengobatan. Setengah sadar antara dia dan tidak. Dia muncul dibalik lemari pendek dekat pintu. Terlihat seperti bayangan gelap sedang melihatku. Untungnya aku tersadar saat itu. Aku agak sedikit kaget saat melihat siluetnya namun siluet itu aku nantikan dan aku harapkan muncul lagi. Tak muncul-muncul juga, aku mengenakan jilbabku lalu berjalan ke kamarnya. Aku melihatnya disana. Sedang dibujuk supaya tidur oleh orang tuanya. Saat mata itu menemukanku, ia beringsut setelah beberapa kali bolak balik menatapku.
****
Aku sempat membacakan tulisanku sebelumnya sampai tuntas. Ia ingin tidur. Sedari tadi ia tidur bangun lalu meludah. Berulang ulang terus.
***
Aku terdengar bapaknya membicarakan tentang menjual rumah dan tawar menawar. Pantas saja ia benci kalau semua tanah yang harusnya jadi investasi malah dijual untuk dana sesaat. Aku tidak bermaksud provokasi tapi menurutku itu tidak benar. Dia dan kakak beradiknya berjumlah 6 orang dan kurasa harus ada pegangan tanah untuk mempertahankan hidup bersama. Beberapa kali ada telepon dari rumah. Telepon pertama saat Dia sedang mengamuk dan hampir saja membanting handphone. Telepon kedua saat Dia sedang mengamuk juga dan bapak sampai tak bisa berkata apa apa. Telepon ketiga Dia sedang tidur dan sedang sadar didekatku sehabis mendengarkan kubacakan tulisanku. Tapi Dia tidak boleh diganggu. Dia harus benar benar istirahat. Dia harus sembuh dan aku percaya dia akan sembuh.
***
Dia baru saja meludah. Tadi mulutnya mengeluarkan darah dan membuat kami cukup panik. Takut kalau kalau dia luka dalam. Dia menggigit lidahnya, hal itu kami sadari saat ia mengatakan agak sakit saat makan.
***
Kalau kau masih merasa hubungan antara wanita dan pria begitu misterius, maka aku harus memberitahumu bahwa hubungan anak dan orang tua jauh lebih misterius. Bila kasih sayangmu terlalu kurang untuk anakmu maka kejadiannya bisa fatal sekali. Maka dari kejadian ini aku percaya untuk memiliki anak dengan jumlah maksimum empat dan membagi kasih sayang yang sama rata dan tak ada yang kekurangan kasih sayang satupun diantara mereka. Ehm. Mungkin dua juga sudah cukup.
***
Maka aku mulai ragu ini adalah ulah makhluk tak kasat mata. Karena yang dikatakannya lebih kepada curahan hatinya daripada pembuka rahasia tempat lain atau si pengirim. Misteri itu sedikit demi sedikit terkuak.
***
Dia mulai menyakiti dirinya. Mulai dari menggemerutukkan giginya hingga membuat bibirnya luka, mulai memegang pisau, berlari ke dapur hingga terpeleset berulang kali. Ibu ibu di sekitar rumah sudah berkumpul. Beberapa diantara mereka ketakutan, yang lain menangis melihat hubungan ayah dan anak. Aku sendiri tersiksa karena orang yang sangat kucintai tak bisa mrngendalikan dirinya. Tapi air mataku tak boleh keluar lagi. Atau aku akan lemas dan membuat diriku sendiri sakit. Aku harus bertahan. Bilapun Dia sadar saat ini dia pasti tidak ingin aku menangis. Bahkan dia tak ingin aku ikut dengannya kesini. Dia begitu peduli padaku. Pada pekerjaanku, pada segala kepentinganku.
***
Perutku lapar tapi lidahku tidak. Wangi kemenyan dan teriakannya sama sama sangarnya. Pertama ku cium kemenyan tadi kepala belakang bagian kananku bereaksi.
***
"Allah aku aja ga kasian sama aku. Dia meracau. Darimana kata kata itu keluar ? Dia tidak pernah sepesimis itu. Dia pasti sangat depresi sekarang. Ia sering mengulang "yana siapa ?" dia juga mengucap "ini aku sama bapak" kurasa itu kata yang sudah lama ingin ia katakan. Kata yang membuatnya bangga bahwa dia begitu dekat dengan bapaknya. Aku jadi teringat saat sore tadi bapak bilang "bapak sayang sekali sama mamat" lalu dia menangis.
Kepala di dalam kaki ke arah pintu. Mereka menidurkan dia dengan cara begitu lalu mengibaskan pucuk sembarang berjumlah 40 macam lalu setelahnya ia bangun dan sadar.
Segera setelah sadar kau melaksanakan shalat isya, lalu kita bersiap untuk segera kembali ke Pekanbaru. Simbah yang mengobatimu berpesan agar kita harus segera menyeberang dalam satu jam kaena katanya jin tidak bisa menyeberang laut. Lalu kita melanjutkan perjalanan setelah perayaan yang sudah direncanakan dan sepertinya merupakan salah satu prosesi juga. Kau sadar saat itu di perjalanan. Bertanya-tanya karena seharusnya aku tidak disana lalu kau berterimakasih karena menemanimu di saat-saat sulit. Maka aku dengan rasa syukur dan ketakukatanku berbicara seadanya, menenangkanmu, berusaha mengajakmu mengobrol agar kau terus tersadar. Meski faktanya kepanikanku sudah mengosongkan otakku dari berbagai pertanyaan.
Entah itu takdir tidak sedang berpihak pada kami, antrian penyebrangan sangat panjang sekali. Kita sudah menunggu selama dua jam tapi tak juga dapat giliran naik ke kapal penyebrangan. Keadaan semakin memburuk saat kau perlahan mulai bertindak aneh. Tatap matamu tajam penuh kebencian. Berbicara keras dan kasar lalu meracau tak karuan. Usaha kami untuk memotong antrian tidak berbuah manis. Ada orang berpangkat jendral atau apalah itu sedang mengantri dan perlu segera pergi, sehingga kami harus bersabar dan aku sudah sangat ketakutan duduk di sebelahnya, harus menahannya agar tak keluar mobil dan melakukan hal yang paling tidak aku harapkan. Laut tidak pernah dangkal.
Aku hampir kehabisan kesabaranku pada petugas saat dia sadar dirinya mulai tak terkendali dan sesuatu seolah mengelilingi mobil dan membuat dia menatap ngeri ke sekeliling mobil dan menjerit-jerit. Air mataku bahkan tidak lagi berharga saat dia mulai memutar kepala, melotot dan menjerit-jerit mencoba melepaskan tanganku. Meneriaki siapa kau padaku.
Setelah saat saat yang berat di antrian, kesulitan kami ternyata baru saja akan dimulai. Dalam mobil ditengah penyebrangan, kau mengamuk dan menghentak ke segala arah. Membuat orang-orang memperhatikan dan bertanya apa yang terjadi di dalam mobil. Jauh lebih sulit saat penyebrangan kembali, karena di penyebrangan keberangkatan, kami masih bisa membawamu ke ruang penumpang. Meski semua orang mengenali keanehanmu. Urat leher yang menegang, pandangan yang penuh kebencian dan wajah yang memerah, seolah kepada semua orang kau sedang marah dan siap meledakkan kapal ini ditengah laut. Sambil sesekali kau bergerak, pergerakan yang tak bisa kau kendalikan. Kadang kau minta maaf, kadang kau minta dilepaskan. Kadang kau melemparkan pandanganmu pada orang yang tak tahu apa-apa dan membuat mereka penuh tanya. Tak sedikit dari mereka membisikimu dengan temannya. Kami semua begitu kucel dan mencoba menenangkanmu. Aku hanya bisa melemparkan pandangan kebencian juga untuk itu. Bahwa aku tau mereka membicarakanmu dan sebaiknya mereka tidak membicarakanmu didepanku dengan begitu mereka harus menjaga sikapnya.
Segera setelah sadar kau melaksanakan shalat isya, lalu kita bersiap untuk segera kembali ke Pekanbaru. Simbah yang mengobatimu berpesan agar kita harus segera menyeberang dalam satu jam kaena katanya jin tidak bisa menyeberang laut. Lalu kita melanjutkan perjalanan setelah perayaan yang sudah direncanakan dan sepertinya merupakan salah satu prosesi juga. Kau sadar saat itu di perjalanan. Bertanya-tanya karena seharusnya aku tidak disana lalu kau berterimakasih karena menemanimu di saat-saat sulit. Maka aku dengan rasa syukur dan ketakukatanku berbicara seadanya, menenangkanmu, berusaha mengajakmu mengobrol agar kau terus tersadar. Meski faktanya kepanikanku sudah mengosongkan otakku dari berbagai pertanyaan.
Entah itu takdir tidak sedang berpihak pada kami, antrian penyebrangan sangat panjang sekali. Kita sudah menunggu selama dua jam tapi tak juga dapat giliran naik ke kapal penyebrangan. Keadaan semakin memburuk saat kau perlahan mulai bertindak aneh. Tatap matamu tajam penuh kebencian. Berbicara keras dan kasar lalu meracau tak karuan. Usaha kami untuk memotong antrian tidak berbuah manis. Ada orang berpangkat jendral atau apalah itu sedang mengantri dan perlu segera pergi, sehingga kami harus bersabar dan aku sudah sangat ketakutan duduk di sebelahnya, harus menahannya agar tak keluar mobil dan melakukan hal yang paling tidak aku harapkan. Laut tidak pernah dangkal.
Aku hampir kehabisan kesabaranku pada petugas saat dia sadar dirinya mulai tak terkendali dan sesuatu seolah mengelilingi mobil dan membuat dia menatap ngeri ke sekeliling mobil dan menjerit-jerit. Air mataku bahkan tidak lagi berharga saat dia mulai memutar kepala, melotot dan menjerit-jerit mencoba melepaskan tanganku. Meneriaki siapa kau padaku.
Setelah saat saat yang berat di antrian, kesulitan kami ternyata baru saja akan dimulai. Dalam mobil ditengah penyebrangan, kau mengamuk dan menghentak ke segala arah. Membuat orang-orang memperhatikan dan bertanya apa yang terjadi di dalam mobil. Jauh lebih sulit saat penyebrangan kembali, karena di penyebrangan keberangkatan, kami masih bisa membawamu ke ruang penumpang. Meski semua orang mengenali keanehanmu. Urat leher yang menegang, pandangan yang penuh kebencian dan wajah yang memerah, seolah kepada semua orang kau sedang marah dan siap meledakkan kapal ini ditengah laut. Sambil sesekali kau bergerak, pergerakan yang tak bisa kau kendalikan. Kadang kau minta maaf, kadang kau minta dilepaskan. Kadang kau melemparkan pandanganmu pada orang yang tak tahu apa-apa dan membuat mereka penuh tanya. Tak sedikit dari mereka membisikimu dengan temannya. Kami semua begitu kucel dan mencoba menenangkanmu. Aku hanya bisa melemparkan pandangan kebencian juga untuk itu. Bahwa aku tau mereka membicarakanmu dan sebaiknya mereka tidak membicarakanmu didepanku dengan begitu mereka harus menjaga sikapnya.
Kami tiba di seberang saat sudah lewat tengah malam. Perjalanan selanjutnya jauh lebih berat terutama saat melintasi jalan luar biasa lurus yang hanya ada sawit dan pipa minyak di kanan kirinya.
Terkadang kau meliuk seperti ular, kadang menangis seperti perempuan, menghentak dan mendorong menjerit, melihat ke arah jendela mobil depan, kanan, kiri dan belakang, kadang sambil menunjuk arah kosong yang tak kami temukan apapun disitu. Sepanjang jalan lantunan ayat kursi diputar di mobil berharap memberi ketenangan padamu, tapi tak pernah ada yang benar-benar efektif sampai saat ini. Jalan lurus ini tak habis-habis dalam 2 jam perjalanan. Kita ber7 sudah sama-sama kehabisan tenaga. Senior kita yang mengemudikan mobil sudah sangat kelelahan dan kantuknya tak bisa dikalahkan. Kita berhenti sebentar di sebuah kedai kopi. Aku memutuskan tidak karna aku tak mau ambil resiko kehilanganmu ditengah hamparan ratusan ribu hektar lahan sawit. Kita masih seperempat jalan di jalan luar biasa sepi itu. Apa yang terjadi selanjutnya tak banyak berbeda hingga kita tiba di Pekanbaru. Tak henti-hentinya dibacakan ayat suci namun kau hanya beringsut sejenak lalu mulai lagi.
DILEMAMU
Aku tak ingin menjebakmu dalam dilema yang kau ciptakan. Kau biasa menjebak dirimu pada logikamu sendiri. Sedangkan aku, perasaanku jauh lebih waras dari kelogisanku.
Bila aku adalah bagian dalam keluarga ini maka aku pasti akan marah marah padanya. Semua kesombongan yang ia letakkan tidak pada tempatnya itu membuatku jengah.
Setiap kunjungan rombongan teman temanmu, kondisimu selalu jadi lebih buruk dan agresif. Kadang kau melompat lompat tinggi menyakiti kakimu, atau menunjuk dadamu dengan jari menyakiti lubang di bagian dadamu. Saat aku coba halangi dengan tanganku, kau tetap menekannya dan aku akhirnya merasakan tekanan luar biasa sakit di telapak tanganku. Bagaimana rasa di dadamu itu ketika kau menekan begitu. Tak pernah ku bayangkan hal seperti ini bisa terjadi. Jangankan melihatnya menekan dadanya begini, melihat dia menangis saja aku tak sanggup. Tapi sekarang aku bahkan merasakan sakitnya ia menyakiti dirinya sendiri.
Pagi itu kau ingin mengantarku ke hotel dan aku tidak mencurigai apapun karena sebelumnya juga kau biasa melakukan itu. Tapi aku tiba-tiba panik saat laju motor tak bisa kau kendalikan lalu aku mengancam turun. Memintamu putar balik. Kau masih bisa bernego denganku lalu kita lanjut namun kau masih tak bisa mengendalikan dirimu sendiri apalagi motor ini. Aku kehabisan toleransi lalu aku menggenggam tanganmu di setir lalu menurunkan gas-gas pelan, mengarahkan motor kembali ke rumah. Akhirnya bapak yang mengantarku tapi ternyata kau marah besar dan mencabut kuku kakimu sendiri. Sakit untukmu, trauma dan rasa bersalah padaku.
***
Aku selalui menemuimu yang bisa beraktifitas meski jiwamu dalam kondisi yang sulit dideskripsikan. Aku mengajakmu berkeliling dan pulang dengan kondisi kelelahan. Orang tuamu tidak suka itu. Kau bilang kau bosan harus terus dirumah. Aku mengajakmu keluar dan meski kau banyak tidak ingat jalan, kau masih bisa bercerita. Meski kau plinplan dan itu sangat berbeda dengan kepribadianmu yang aku kenal namun kita masih beraktifitas dan bertindak seolah tak pernah terjadi sesuatu padamu. Meski berujung aku yang harus menggoncengmu karena kau tak mengingat jalan-jalan itu. Tapi saat aku pergi selalu ada kabar baru membuat dadaku asam. Apakah aku bisa membuatmu tenang meski sesaat ? Ataukah ternyata aku adalah candumu yang membuatmu harus kontrol diri saat aku ada ? Ataukah malah akulah penyebab semua ini ?
***
Aku selalu mendapatkan dirimu yang membandingkan antara kau dan aku dalam semua aspek ibadah. Kau juga pernah cerita kau adalah satu-satunya yang belum lulus diantara teman-temanmu. Lalu aku juga mendapati bapak bercerita kau membandingkan dirimu dan aku dalam aspek keluarga dan pekerjaan. Aku menyadari, akulah satu dari sebagian besar hal yang membuatmu begini.
***
Aku sudah menyemangatimu untuk bisa multifokus sepertiku dan aku rasa, aku sudah cenderung memaksamu karena bagaimanapun kau punya rasa padaku sehingga saat mendengarku bercerita penuh semangat, kau ingin menjadi seperti yang aku ceritakan. Bila membuatmu begini adalah sebuah kejahatan maka aku adalah dalang besar hanya dengan memunculkan diriku di hadapanmu. Aku tidak akan jadi dalang lebih lama lagi. Kalau menjauh darimu adalah penebusan dosa yang paling setimpal maka aku mau tidak mau harus siap untuk itu.
Meski aku tak akan pernah punya agenda disini tanpamu. Meski aku tak bisa kemana-mana sejak itu. Aku terlalu terbiasa beraktifitas denganmu. Kau faham betul bahwa kita tak punya hal untuk banyak diceritakan. Kita selalu datang untuk makan bersama di tempat yang itu-itu saja sehingga pertemuan kita selalu berakhir dengan mengurus keperluan dan pergi makan bersama itupun lalu berujung dengan mengundang sahabat kita untuk bergabung.
***
Lalu disinilah aku bersykur ditugasi untuk berada di tempat yang berbeda dan bisa membuat aku lupa. Maka tidak akan ada pertanyaan-pertanyaan tentangmu yang selalu berujung pada rasa asam di lidah dan sakit di dada. Tak lupa rasa tekanan di punggung dan leher. Aku sekarang tau bagaimana rasa sakit psikologi mempengaruhi kondisi kesehatan. Maka aku akan mencoba memberi solusi bagi diriku sendiri. Aku memang memikirkan diriku terlalu banyak. Tapi bukankah kalau bukan aku, lalu siapa lagi yang akan memikirkanku ? karena sejauh ini belum ada yang benar-benar tulus memikirkanku. Beberapa memikirkan karena ingin difikirkan kembali. Belum ada yang memikirkan tanpa pamrih meski ujungnya tentu tak ada kebaikan yang tak ingin dibalaskan. Tapi ya, yang seperti itu belum ada.
HARAPKU
Bila hari itu benar-benar tiba, dimana kau sudah benar-benar pulih dan kau mengingat sebuah pesan yang ku tuliskan ini, maka aku ingin mengucapkan selamat. Aku bersyukur, sangat-sangat bersyukur akan kesembuhanmu. Banyak orang mengupayakan kesembuhanmu dan akan ada banyak sekali orang bersyukur atas kembalimu. Maaf aku tidak menemuimu.
Sebaiknya kita tidak usah bertemu dulu. Mungkin juga jauh lebih baik lagi bila kita tidak usah bertemu lagi. Aku sudah benar-benar merelakanmu saat ini. Semua ini masih terasa seperti mimpi bagiku, tapi mataku tidak sedang tertutup dan aku bisa merasakan air bening yang bergulir dari sudut mataku saat aku menulis ini. Aku tidak sedang meninggalkanmu untuk orang lain, seperti yang pernah hampir aku lakukan dulu. Aku memang sangat keterlaluan dan aku tidak ingin membuatmu bersedih lagi. Aku sudah memutuskan untuk tidak akan lagi menyebabkan kebingungan-kebingungan itu.
Jangan pernah lagi bertanya tentang perasaan. Cukup hargai saja keputusanku. Aku sangat percaya bahwa ini adalah keputusan terbaik untuk kita.
Mohon hargai aku
Abaikan bahwa kau memiliki kontakku
Meski dulu aku selalu datang padamu
Sekarang aku sudah memutuskan untuk tak datang lagi
Tak ku harap juga kedatanganmu
Bilapun kita dipertemukan tanpa kesengajaan
Perlakukan aku sebagai teman, tidak lebih
Biarkan kita berdua benar-benar disembuhkan seiring waktu
Berubahlah jadi lebih baik seperti yang selalu kau inginkan. Hadiri kajian tanpa rasa bimbang, amalkan ilmu yang kau dapat tanpa kebingungan karena tidak akan ada lagi aku sebagai kebingungan-kebingungan itu. Lanjutkan Tahsin yang sempat terputus sementara. Kau harus tahu bahwa aku tersenyum membayangkan ini.
Aku percaya pada takdir-Nya
Bila kita memang berjodoh, suatu hari akan datang waktu dan tempat dimana akhirnya kita dipertemukan untuk sesuatu yang sudah seharusnya. Namun untuk saat ini, aku ingin menikmati pekerjaanku, berkomunikasi dengan siapapun tanpa berencana untuk jatuh cinta. Berteman dengan siapa saja, belajar banyak tentang kehidupan dan meningkatkan kualitas diri.
Berubahlah seperti yang kau inginkan, seperti yang seharusnya, karena kita sepertinya bukan yang seharusnya.
Berubahlah seperti yang kau inginkan, seperti yang seharusnya, karena kita sepertinya bukan yang seharusnya.
Komentar
Posting Komentar