Pertemuan Senja terakhir

Maka disitulah aku berjilbab biru dengan lipstik seadanya. berpakaian rapi untuk mengakui diri sebagai seorang wanita tanpa berharap seorang lelakipun melirik padaku. Sama seperti sebagian wanita, persolekan seadanya hanyalah untuk memberikan kesenangan pribadi bagiku. Tapi bukan itu yang ingin ku ceritakan kali ini.
Tepat dihadapanku seorang lelaki paru baya berambut urakan sudah hampir putih semuanya. kumisnya menutupi sbagian bibir tak dihiraukan. Bersuara berat dan khas, waktu itu aku tidak begitu menyadarinya. Hanya sebatas aku mengenali seni yang sedang mengalir disitu tanpa ada kekaguman. Banyak orang bersuara begitu, fikirku.

Lalu disinilah aku. Mengetik kisah ini di depan laptopku, berharap waktu bisa kuulangi dan ingin sekali saja mengulang masa belajar bersama beliau. Semoga perjalanannya lancar tanpa hambatan dan beliau selalu diberikan kesehatan.

Aku teringat perkenalan awal dengan beliau, saat itu aku mengaku mengenali seni dari keluargaku. Menyadari Sutardji Calzoum Bachri sebagai orang Rengat yang kuakui orang kampungku karena Rengat adalah Ibu kota kabupaten tempat aku selalu pulang kampung sekarang.

_________________________________________

Jutaan sajak bermunculan bersamaan dengan tatapan tajam tepat di sudut mata dekat titik butaku. Mata itu antusias memperhatikanku dari kejauhan. Kata orang kita memiliki naluri alamiah saat seseorang memperhatikan kita dan aku yakin kali ini aku tidak sedang besar kepala. Mata itu memang memandangku, fikirku. Sesekali ku layangkan pandang dan visiku menangkap basah mata besar itu. Tertutup buka dalam ritme cepat lalu bergeser melihat sudut lainnya. Sekali, dua kali, lalu mata itu kapok dan tidak memandangiku lagi.


Senja itu aku harus meyakini bahwa kau telah pergi. Penerbangan dari Padang lalu Jakarta untuk menemui keluarga kemudian Boyolali untuk memenuhi undangan suatu acara.

Kau menyalamiku dengan tangan kokoh dan besar itu, membuat tanganku seolah sebiji jari jempol bagimu. Nyaman.

Bolehkah aku mengingatmu dari buku yang ku sita. Ku rasa tak perlu ku nyatakan bahwa aku suka. Cukup ku tunjukkan agar kau tau rasa. Meski tak sedikitpun aku minta balas rasa seperti ini terasa tak berazas. Mungkin akan hilang sebentar lagi. Aku akan bertemu dengan orang baru lagi lalu jatuh cinta lagi. Begitu seterusnya tanpa keinginan untuk bersama apalagi memiliki.

***
Kau membisikkan kata-kata yang tak ku mengerti. Aku anggap itu kerisauanmu harus berpisah denganku. Bahwa kau harus berhenti menatapku dari jauh atau dari balik laptopmu. Trainer menangkap gerak-gerikmu meski kau coba bertindak biasa.

Komentar