Bila menurutmu lebih menarik bila mengenalku, maka aku hanya akan katakan padamu beberapa hal. Bahwa kau tidak perlu tahu namaku. Bahwa aku mencitrakan diriku seperti itu. Terikat dan menjadi benalu pada pohonku. Bila pohonku kuat maka ia akan tetap sehat. Bila tidak, aku menjadi benalu yang menamatkan pohonku sendiri. Aku indah tapi kejam bagi yang lemah. Karenanya aku tidak memilih pohon yang lemah. Karena saat aku menempel, terkadang aku jatuh cinta sekaligus. Melihat pohonku hancur, menghancurkan hatiku juga.
Dharmasraya, 14 Juni 2016
***
Aku akan menceritakan padamu sebuah kisah yang hambar. Bila itu
adalah sebuah mangga, maka kau hanya makan merasakan asamnya saja tanpa ada
manis dan aroma yang tercium. Bila itu jeruk maka kau akan memilih membuangnya
dipada isapan pertama. Bila kemudian kau sayang dan takut mubazir lalu kau
tetap melanjutnkan, kau tak akan kunjung menemukan manisnya hingga isapan
terakhir. Seperti itulah kisah yang akan ku ceritakan padamu.
Mengapa tuhan menciptakann rasa cinta baru bila aku sudah
cukup bersyukur pada rasa cintaku yang sekarang. Akulah potret manusia serakah
itu. Aku tidak pernah puas dengan apa yang aku miliki dan masih menginginkan
hal lain lagi. Rusaknya, apa yang kuinginkan bukanlah hal yang jauh lebih baik
daripada yang saat ini. Kekurangan disana sini dan kemungkinan bahwa aku akan
ditinggalkan, sebuah kehidupan keras yang mengharuskan aku bertopang pada
kakiku sendiri.
Aku hanya seorang gadis manja yang ketergantungan. Bila aku
takabur bahwa aku bisa menjadi seorang mandiri maka aku akan kering dijalan
atau mati kehausan. Maka disinilah aku berpegang pada sebatang phohon yang
buahnya manis, daunnya hijau menyala, batangnya cokelat dan akarnya kokoh
berpijak di bumi. Pohon ini begitu bersahaja dan senantiasa berzikir pada
ilahi. Pohon ini menggenggamku, merangkulku, membuatku nyaman dengan
memberikanku buah terbaiknya dan senyuman.
Namun pandanganku jauh menjangkau sesosok pohon keras
bergoresan disana sini, sulurnya membuas dan daunnya hijau kelam. Pohon itu
menatapku tajam memamerkan kehidupannya yang keras. Pohon itu adalah pohon
hutan yang mencari nutrisinya dengan bersaing bersama jutaan tumbuhan hutan. Akarnya
menjalar kian kemari seperti ular. Suatu ketika akarnya menggapai lembut
tanganku. Akar yang dingin dan basah itu lembut menyentuh dan memberikanku air
yang sangat segar. Buahnya kecil tapi manis dan sedikit. Bersaing dengan jutaan
tumbuhan tidaklah mudah, wajar bila nutrisi yang dimilikinya terbatas sehingga
tak banyak pula buah yang mampu dihasilkannya. Tapi setiap ia menghasilkan
buah, dia akan sampaikan itu padaku dengan akarnya yang lembut dan basah. Mata garangnya
berbinar saat aku makan dengan lahap buah yang diberikannya. Ia memberikanku
yang terbaik yang bisa diberikannya. Begitulah terus si pohon sulur memperlakukanku
baik sekali. Pohon yang menggenggamku tak pernah tau. Ia begitu sibuk pada
dirinya dan kicauan burung yang riang berirama mendendangkan lagu hari yang
cerah.
Sampai suatu hari...
Pohon yang menggenggamku tiba-tiba saja menoleh ke arahku. Aku
belum sempat menyeka mulutku yang bercelemotan buah dari si pohon bersulur. Ia menatapku
heran, tak mengerti mengapa dan siapa yang memberikanku buah selain dirinya. Ia
lalu menyimpan pertanyaannya dalam-dalam lalu asik kembali menari, mencari
nutrisi dan melakukan kegiatan lain. Pertanyaannya pun hilang ditelan waktu dan
keasikannya sendiri. Pohon sulur terus membuatku nyaman.
Ia kini tak hanya memberikan buah dan air, ia mengajakku
mengobrol dan menceritakanku tentang gunung, yang gagah menjulang sampai
kahyangan. Lalu lembah berkabut tempat tinggal peri-peri hutan yang tampan dan
jelita. Ia juga menceritakanku tentang sebuah pohon tua yang amat sangat
tinggi, ia disegani oleh pohon lainnya. Pohon tua yang dibanggakan oleh hutan
karena ia selalu menyebarkan air yang di dapatkannya dari tanah kepada seluruh
penjuru hutan. Ia bercerita bahwa suatu ketika di masa depan ia akan menjadi
seperti si pohon tua itu. Aku selalu mendengarkan kisahnya dengan seksama. Aku menyukai
cerita tentang tempat dan pengalaman yang belum pernah kualami. Tak bosan aku
mendengarkan kisahnya. Ia juga bercerita bahwa suatu ketika ia pernah memiliki
genggaman yang juga sepertiku. Tapi warna dan parasnya lebih indah dariku. Begitu lama ia menggenggamnya karena
ia selalu mampu menghadirkan kenyamanan. Tapi ceritanya tak selesai dan
berganti dengan kisah harimau yang berteduh di bawahnya. Harimau besar yang
baru saja menyantap buruannya di siang hari yang terik. Ia memberikan harimau
itu teduh dan air, alu ia bersahabat dengan harimau itu hingga kini.
Anganku melayang mengingat-ingat memori dahulu dimana seekor
harimau baru saja akan mendekat ke pohonku tapi pohonku ketakutan dan hanya
menahan nafas selama ia dibawahnya. Ia menggeserkan tajunya dan membiarkan
mentari membakar tubuh harimau. Harimau pun menggeser geserkan badannya menuju
ke bayangan tajuk, tapi pohon terus saja menggeser tajuknya. Begitu terus-menerus
sampai si harimau bosan dan meninggalkan pohon. Ia bilang ia melakukan itu untuk
melindungiku. Tapi aku tidak percaya karena ku yakini harimau tidak berbahaya
bila saja kita bisa bersahabat dengannya. Kisah si pohon sulur yang menyamankan
harimau adalah sesuai seperti apa yang aku percaya. Sedikit, ada kagumku
padanya. Tapi tak ku lanjutkan. Aku toh tak pernah melihat kejadian itu dengan
mataku, maka tidak ada yang harus dipercaya, tidak ada yang harus dikagumi
untuk sekarang ini. Begitulah pohon sulur selalu berusaha membuatku nyaman dan
menceritakanku kisah-kisah kesukaanku.
Sampai suatu hari, pohon sulur memaksa aku untuk pindah padanya. Aku lalu dilema. Aku harus memilih antara si pohon yang ku
kenal lama. Si pohon yang baik ini. Ataukah si pohon sulur yang cinta
petualangan dan juga cinta aku ini. Aku benci seperti ini. Tak pernah ku sangka akan ada
pertanyaan seperti ini yang diajukan si pohon sulur. Pohon sulur mulai
membanding-bandingkan dirinya dengan pohonku. Tapi itu tidak lantas membuatnya
terlihat lebih baik.
Aku tidak lagi menerima pohon sulur
Aku tidak lagi menemuinya
Aku membiasakannya agar terbiasa tidak berharap padaku.
Komentar
Posting Komentar