BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Dewasa
ini dunia pendidikan di Indonesia sedang giat-giatnya menggalakkan pendidikan
karakter di semua jenjang pendidikan yang ada. Pendidikan karakter ini
bertujuan membentuk sosok pribadi bangsa Indonesia yang lebih baik di masa
depan. Pendidikan karakter diharapkan mampu membentuk siswa-siswa di Indonesia
agar menjadi manusia berbangsa dan bernegara yang tidak hanya berilmu tapi juga
bermoral, memiliki karakter yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia.
Pendidikan
karakter inipun dalam prosesnya adalah dengan menanamkan karakter-karakter yang
sudah ada pada bangsa Indonesia terdahulu kepada para peserta didik. Sumber
nilai-nilai karakter yang ditanamkan pun berasal dari berbagai sumber, yaitu
kitab suci dari agama-agama yang diakui di Indonesia, warisan budaya berupa
syair dan banyak sumber lainnya. Penerapan nilai-nilai tersebut di proporsikan
kepada peserta didik yang menerima pendiddikan agar tercapainya misi pendidikan
Indonesia yang berkarakter.
Berkaitan
dengan pendidikan MIPA sendiri, pendidikan karakter sebenarnya sangat di
perlukan untuk membentuk siswa agar memiliki sikap ilmiah. Sikap ilmiah
merupakan sikap yang harus ada pada diri seorang ilmuwan atau akademisi ketika
menghadapi persoalan-persoalan ilmiah. Sikap ilmiah yang dimaksud adalah sikap
yang seharusnya dimiliki oleh seorang peneliti. Untuk dapat melalui proses
penelitian yang baik dan benar, peneliti harus memiliki sifat – sifat berikut
ini.
a) Sikap
ingin tahu.
b) Sikap
kritis.
c) Sikap
terbuka
d)
Sikap objektif
e) Sikap
rela menghargai karya orang lain.
f) Sikap
berani mempertahankan kebenaran
g) Sikap
menjangkau ke depan.
Berkaitan dengan berbagai sumber yang memiliki nilai pendidikan
karakter di dalamnya, pada makalah ini penulis memaparkan nilai pendidikan
karakter yang berkaitan dengan warisan kebudayaan melayu yaitu gurindam
duabelas. Nilai tersebut berbunyi :
Barang
siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.
tiadalah ia menyempurnakan janji.
Nilai
tersebut dikutip dari hasil karya Raja Ali Haji seorang sastrawan dan Pahlawan Nasional dari Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang
dimaksud dengan Hakikat Sains ?
2.
Apakah yang
dimaksud dengan Pendidikan Karakter ?
3.
Mengapa
Pendidikan Karakter diselenggarakan ?
4.
Bagaimana
keterkaitan nilai budaya dengan pendidikan karakter ?
1.3
TUJUAN
1.
Menjelaskan
Hakikat Sains dan tujuannya yang berkaitan erat dengan Pendidkan Karakter.
2.
Memberi
penjelasan mengenai keterkaitan nilai budaya dalam pendidikan karakter.
3.
Memberi
pemahaman pentingnya pendidikan karakter dalam pendidikan.
4.
Menjelaskan
kandungan nilai karakter dalam Gurindam Duabelas.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Hakikat
Pendidikan MIPA
Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang
arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains
merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan
bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan
mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak
dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably
Joint" (Agus. S. 2003: 11)
Beberapa ilmuwan memberikan definisi sains sesuai
dengan pengamatan dan pemahamannya. Carin mendefinisikan science sebagai The
activity of questioning and exploring the universe and finding and expressing
it’s hidden order, yaitu “Suatu kegiatan berupa pertanyaan dan penyelidikan
alam semesta dan penemuan dan pengungkapan serangkaian rahasia alam”.
Sains sebagai ilmu terdiri atas produk dan proses. sains
selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Pernyataan di atas selaras dengan pendapat Carin yang menyatakan bahwa
sains sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum dan
teori sains. Fakta merupakan kegiatan-kegiatan empiris didalam sains dan
konsep, prinsip, hukum-hukum, teori merupakan kegiatan-kegiatan analisis
didalam sains.
Sebagai
proses sains dipandang sebagai kerja atau sesuatu yang harus dilakukan dan
diteliti yang dikenal dengan proses ilmiah atau metode ilmiah, melalui
keterampilan menemukan antara lain, mengamati, mengklasifikasi, mengukur,
menggunakan keterampilan spesial, mengkomunikasikan, memprediksi, menduga,
mendefinisikan secara operasional, merumuskan hipotesis, menginterprestasikan
data, mengontrol variabel, melakukan eksperimen. Sebagai sikap sains dipandang
sebagai sikap ilmiah yang mencakup rasa ingin tahu, berusaha untuk membuktikan
menjadi skeptis, menerima perbedaan, bersikapkooperatif,
menerima kegagalan sebagai suatu hal yang positif. Dapat disimpulkan bahwa pada
hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap
ilmiah.
2.2
Pendidikan
Karakter
Menurut Prof . Suyanto Ph.D, Karakter adalah cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan
siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu
tujuan pendidikan nasional.
Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di
antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Pendidikan
tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau
berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan
yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah
dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character... that is
the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir
pendidikan yang sebenarnya).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti
plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini,
maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi
cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil
menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari
nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya. Kedua, kemandirian dan tanggungjawab. Ketiga, kejujuran/amanah,
diplomatis. Keempat, hormat dan santun. Kelima, dermawan, suka tolong-menolong
dan gotong royong/kerjasama. Keenam, percaya diri dan pekerja keras. Ketujuh,
kepemimpinan dan keadilan Kedelapan, baik dan rendah hati, dan kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara
sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good,
feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan
sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus
ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai
kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu
kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku
kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa
melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan
sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia
emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak
dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan
karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi
pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses
pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi
sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu,
seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan
sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran
guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena
guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta
didik.
Ringkasan dari
beberapa penemuan penting mengenai dampak pendidikan karakter diterbitkan oleh
sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education
Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr.
Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan
motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang
menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat
dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku
negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and
School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil
penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan
di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan
anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak
pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan
bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan
kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang
keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan
emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang
mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar,
bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini
sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan
terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan
terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan
karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang,
Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa
implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak
positif pada pencapaian akademis.
2.3
Keterkaitan
Nilai Budaya dengan Pendidikan Karakter
Dalam pembahasan
terdahulu telah diketahui hakikat sains dan apa yang dimaksud pendidikan
karakter. Aspek yang paling erat berkaitan antara pendidikan karakter dan
hakikat sain sendiri adalah pada aspek sains sebagai ilmu yang bertujuan
membentuk kepribadian peserta didik yang memiliki sikap ilmiah. Dari sekian
banyaknya sumber yang di gunakan dalam penerapak pendidikan karakter, salah
satu yang penulis angkat dalam makalah ini adalah nilai pendidikan karakter
yang terdapat pada Gurindam Duabelas yang merupakan warisan budaya masyaarakat
Riau dan Riau kepulauan. Dari warisan budaya ini penulis mengambil syair pada
pasal ke dua bait ke lima, yang berbunyi :
Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji.
tiadalah ia menyempurnakan janji.
Nilai pendidikan karakter yang terdapat pada syair
tersebut adalah nilai kejujuran. Nilai kejujuran adalah merupakan pilar ketiga
dari Sembilan pilar karakter secara universal. Setiap peserta didik harus
ditanamkan sikap kejujuran sejak dini agar dimasa depan peserta didik yang
kemudaian menjadi penerus bangsa Indonesia dapat menjalankan setiap posisinya
dengan kejujuran yang akibat baiknya dalah untuk perkembangan Indonesia
sendiri.
Beberapa sikap ilmiah salah satunya juga adalah
kejujuran. Dalam penelitian ilmiah, seorang peneliti diharuskan memiliki sikap
ilmiah dalam dirinya karena penelitian ilmiah berkaitan dengan perhitungan yang
menuntut keakuratan dan ketelitian serta keabsahan perhitungan hasil penelitian
yang dilakukan. Oleh karena itu sangat penting menanamkan sikap jujur kepada
peserta didk sepanjang proses pendidikan berlangsung.
Banyak lagi nilai-nilai dari aspek kebudayaan yang
mengandung pesan pembentukan karakter. Beberapa contoh lain terdapat dalam
Kitab Suci Al-Qur’an Surat Al-Ghassiyah
ayat 17 :
Sumber-sumber
nilai pendidikan karakter dapat pula diambil dari kitab Injil bagi peserta
didik beragama Kristen, Tripitaka bagi siswa beragama Buddha dan Weda bagi
siswa beragama Hindu juga kitab-kitab agama lain untuk peserta didik dengan
agama tertentu.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
1.
Sains berkaitan
erat dengan pendidikan karakter.
2.
Sains merupakan kumpulan pengetahuan
dan proses.
3.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti
plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action).
4.
Nilai-nilai budaya pada Gurindam Duabelas pasal kedua
bait ke lima mengandung nilai pendidikan karakter yaitu kejujuran
3.2
SARAN
1.
Dengan membaca
makalah ini, pembaca diharapkan :
2.
Memahami
hakikat sains
3.
Memahami maksud
dari pendidikan karakter
4.
Memahami
keterkaitan nilai budaya dalam gurindam duabelas pasal kedua bait ke lima
dengan Nilai Pendidikan Karakter Jujur.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Hussien dan Evi Suryawati . 2013. Dasar-dasar Pendidikan
Sains. Pekanbaru :
Zen, M.T. 1984.Sains, Teknologi dan Hari Depan
Manusia. Jakarta: PT Gramedia
Komentar
Posting Komentar