Afrodit

Jum'at.
Gerimis mengurungkan niatku untuk berangkat ke sekolah siang ini. Berbaring di kasurku  yang tebal, pasti akan lebih mengasyikkan. Baru saja menutup mata semenit, pembina asrama sudah memberi intruksi untuk harus ada di sekolah lima menit lagi. Ku paksa langkah berat sekali ini untuk pindah. Perjalanan ke sekolah tidak begitu mengecewakan. Gerimis memang romantis, meski selalu ampuh bikin aku pilek. Memandang jalan ke sekolah dengan hikmat, menikmati waktu-waktu yang takkan terulang lagi ini. Seragam, jalan aspal ke sekolah, dan seseorang yang ku harap bisa ku lihat di sana. Seseorang yang membuatku ingin jadi lebih baik. Seseorang yang mungkin menyayangiku. MUNGKIN. Kata-kata mungkin memang sangat mengecewakan. Bisakah kata ini ku ganti?

Sebelum berangkat ke sekolah sudah ku rencanakan untuk mengunjungi ruangannya disebelah ruang ujianku, hanya untuk memastikan apakah ada sesuatu dihatinya untukku. Istirahat pertama tadi pagi dia mengobrol dengan teman sekelasku dan setelah temanku itu masuk, dia masih memperhatikannya, padahal aku di sana. Memang tidak memperhatikannya, tapi menyedihkan juga memperhatikan orang yang memperhatikan orang lain. Temanku itu tentu saja perempuan, dan itulah yang membuatku sepertinya jealous.

Sesampainya di lantai tiga, ruang yang pintunya terbuka. Seseorang menelungkupkan kepalanya di atas meja. Orang itulah yang tadi aku bicarakan. Melihat itu aku sama sekali kehilangan niatku untuk menjalankan rencana yang telah ku rangkai tadi di kamar. Aku pernah mendengar sesuatu "seperti" dia menyukaiku. Tapi aku lebih banyak menerima "kenyataan" dia sangat dekat dengan seorang teman. Aku tidak akan mengambil apa yang sudah jadi gebetan orang, tentunya. Tapi sulit sekali membuat dia hilang. Sebanyak apapun keburukannya yang ku tahu, sebanyak itulah aku bisa mentolerirnya. Dia membuatku bertingkah aneh. Membuatku muak pada dia dan diriku sendiri. Dia yang merupakan "kenyataan" bahwa seorang aryani menyukainya.

Pulang ujian aku lewati lagi ruangannya. Tak ku tolehkan wajahku, meski aku sebenarnya sangat ingin untuk menoleh. Tapi aku juga berfikir untuk apa. Bukankah tadi aku juga sudah mengatakan bahwa menyedihkan melihat ke arah orang yang melihat ke orang lain. Ku putuskan untuk langsung ke asrama. Ketika aku merasa patah hati seperti ini, aku masih bisa tertawa. Menertawakan kebodohanku, dan betapa anehnya aku. Melupakan dia apa sih susahnya. Bukankah dia bukan tipeku?
Itulah masalahnya. Meski dia bukan tipeku, tapi entahlah. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah Yang Maha Cinta memberiku hadiah, seorang tipeku yang sangat menyayangiku. Meski aku tidak terlalu berharap ini untuk terwujud, bermimpi mendapatkan seorang yang tipeku ternya lebih baik daripada melihat orang yang tidak melihatku. Jauh lebih mengecewakan.

Aku mendapatkan perlakukan spesial dari seoragn teman. Dia cukup baik, cerdas tapi lebih muda dariku. Anak kecil yang mentel. Terkadang aku berfikir begitu tentangnya. Perlakuan baik yang lain, dari seorang yang mengingatkanku shalat subuh,  tapi aku masih saja melakukan hal bodoh itu. Hanya melihatnya, hanya, hanya dan hanya. Setelah SMA, aku ingin bisa bebas melakukan kegiatan yang aku inginkan. Keliling dunia pasti sangat menyenangkan. Mungkin aku akan menemukan banyak orang yang bisa membuatku terpesona, yang akan mengalihkan aku dari melihatnya. Ini bukan pelarian, tapi inilah mimpiku. Bukan mimpi tentang melupakannya, tapi mimpi tentang keliling dunia, mengetahui seperti apa amerika sesungguhnya, mengenal lebih banyak american dan hidup seminggu atau dua minggu disana. Satu bulan mungkin juga boleh.

Dia tidak pernah berkata apapun padaku. Meski saat saling pandang, aku merasa Khalil Gibran bukan seorang pendusta dan penggombal belaka. Khalil Gibran hanya menggambarkan rasa yang sederhana itu dalam keindahannya yang sesungguhnya. Tidak lama, tetapi terasa sangat manis dan istimewa, seperti sepotong kecil coklat belgium. Aku tidak akan melihat tanpa sebab, seperti biasanya. Dia dan bahasa tubuhnya yang membuatku salah faham. Hey! Akhirnya sekarang aku mengerti kalau aku sedang salah faham. Dia memang tidak menyukaiku, kok. Apapun yang membuat "mungkin" sebenarnya lebih tepat adalah "omong kosong". Aku hanya berpegangan pada lengaku sendiri, bukan dengan lengan orang lain.

Pemikiran ini membuatku lega sekali sekarang. Tidak ada gunanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Lebih baik jalani hidup dengan lebih baik mulai sekarang. Dia membuatk hari-hariku berubah drastis. Membuatku kehilangan diriku. Aku juga merasa memikirkannya malah menjauhkan aku dari Yang Maha Cinta. Tidak lagi kutemui diriku terpekuk nyamannya lantunan Al-Qur'an-ku sendiri, atau shalat-shalat khusyu' dengan hanya memikirkan-Nya, sudah tidak lagi. Aku tertarik dari diriku. Aku menyalahkannya. Naif sekali aku. Aku hanya tertekan karena aku tidak dapat mendapatkan apa yang aku inginkan, bukan? Aku, cobalah menerima kenyataan, dan berjalan tanpa melirik ke belakang. Jangan pernah salahkan siapapun. Sebenarnya dia tidak salah,kok. Tidak pernah salah. Aku hanya masih terlalu labil untuk berfikir dewasa.


Komentar