Pemuda di Quartery Era

How are you 23ier ?

Apakah pertanyaan perihal jodoh sudah mulai membuat risih ?
Ayah Ibu mulai risau anak gadisnya belum berniat untuk menikah ? Tak sedikit kandidat diajukan baik oleh orang tuamu dan teman Ibu Ayahmu ? Beberapa lelaki datang menawarkan sebuah kesempatan memulai hidup baru ?

Tapi kau termangu. Bukan sedang merasa tinggi. Kau sedang tak percaya akhirnya usiamu sudah 23. Beberapa bulan lagi bahkan kau akan 24. Sudah hampir lupa pada target menikah usia 22. Pada akhirnya pernikahan lebih menakutkan dari yang kau kira.

Meski ragu kau coba tuk memilih dan memilah. Beberapa wisudawan, pekerja, karyawan perusahaan dan petani-petani muda. Wisudawan muda yang usianya tak jauh diatasku, sedang frustasi pada pekerjaan impian yang tak kunjung diraih. Jangankan berfikir pernikahan, sekedar memberikan gaji pada orang tua sebagai upaya membahagiakan saja mereka masih minder. Tak jarang raut muka mereka minder padahal sudah empat tahun mereka digembleng ilmu baik spesialis maupun generalis. Sudah empat tahun pendidikan mereka lebih unggul dari yang tamat SMA, tapi ternyata empat tahun tak cukup untuk membuka wawasan mereka atas dirinya maupun sekedar menambah kepercayaan diri.

Mungkin aku sedang sarkastis. Mungkin aku hanya tidak berada di posisi mereka dan aku hanya sedang pongah, lalu aku bercuit mengomentari seperti burung kutilang. Akupun sudah diambil Yayasan Internasional dan tidak kembali ke kampung lalu sesuai paradigma kita akan "tabu"nya kembali ke kampung membuat aku tidak berhak berpendapat. Baiklah, bila aku tak pantas, silahkan tutup lalu pergilan bacalah tulisan lain.

Pernahkah kau ingat saat kau merasa cemas, kau tak bisa memikirkan solusimu sendiri ? Ingatkah kau mengapa kau butuh sahabatmu di saat seperti itu ? Kau butuh orang lain yang tidak berada di posisimu untuk melihat dengan kacamata yang jernih dan tidak ada keberpihakan pada rasa takut dan komplikasi perasaan negatif lain yang sedang berakumulasi pada dirimu.

Kau tetap bintang meskipun kau berada di kampung. Berapa sih presentasi wisudawan dan orang tamat SMA di kampung ? Kau tak perlu malu bila sudah wisudawan namun masih di kampung. Apakah kau berfikir kau tidak cukup baik untuk jadi pekerja korporat di luar sana ? hidupmu di kampung menjadi petani lebih asik, tak ada atasan, tak ada yang akan menodongmu dengan ancaman gaji, tak perlu etos kerja yang harus kau raih demi apresiasi. Betapa damainya hidup seperti itu. Dan lagi suatu saat kau akan menyadari, bahwa kenyataannya hidup hanyalah paradigma-paradigma yang diciptakan oleh berbagai orang, kau adalah satu yang sedang tenggelam dalam paradigma orang lalu kau sesak nafas sehingga merasa minder dengan berdiam di kampung. Kau tak beruntung dengan membiarkanmu memilih paradigma yang "itu". Paradigmamu itu seolah orang tak bisa berenang yang memilih kolam renang dengan kedalaman lebih dari tinggi badannya. Sukur-sukur kalau kau jadinya bisa berenang. Tapi bagaimana kalau kau tenggelam ? Hidup kita terlalu singkat untuk hidup pada satu paradigma.

Cobalah kolam di sebelahnya. Banyak fakta orang tak sekolah tetap bisa sukses. Terlepas bagaimana cara mereka meraih sukses, tapi cara yang sehat biasanya tak jauh dari seberapa berani kau berani meminjam modal bank. Semakin besar modalnya semakin besar pula keuntungannya, meski bila modal dan keuntungan tidak berbanding sehat, tapi bila angka yang tidak sehat itu selisihnya adalah ratusan juta, dalam sebulan kau sudah bisa berfoya-foya. Kalau kau masih ngeyel dengan glamornya hidup para karyawan perusahaan, coba lihat sejauh mana mereka bahagia terutama dengan waktu bersama keluarga yang mereka tak selalu punya, lalu perkembangan anak-anak mereka. Sekali-kali jangan kalian lihat sesukses apa anaknya, ingat teman sukses tak selalu berarti bahagia. Meski orang-orang dengan toleransi besar dan terbiasa mentoleransi kesibukan orang tuanya, mereka tetap bahagia-bahagia saja dan juga hidup dengan bangga terhadap paradigma pekerjaan prestisius orang tua, coba mainlah pada keluarga petani bahagia.

Hidup pas-pasan untuk makan dan beli sekedar beberapa barang namun bisa bercengkarama leluasa dengan anak-anaknya, hidup tidak ditekan siapapun, bekerja bila butuh uang, berhenti bila lelah atau bosan. Mulai lagi bila sudah butuh. Mereka tidak dibutakan jadwal berangkat-pulang pagi buta, dan kelam malam. Apalagi harus menginap keluar kota berbulan-bulan dan jarang pulang. Hidup bermewahan buat apa, sedikit kurang, cukup alhamdulillah, lebih sedikit lumayan, lebih banyak kebingungan. Coba saja kita mau mengalah pada ego dan menundukkan nafsu kita akan harta. Toh hidup tak melulu soal harta bukan ?

Balik lagi ke kandidat-kandidat yang ada, aku jadi teringat betapa bangganya mereka yang jaya di perantauan. Lalu tak pernah kembali, membiarkan orang tuanya menua dengan anak terakhir sebagai kadidat satu-satunya perawat orang tua, seolah mereka dulu sengaja tak dirawat saat masih kecil oleh orang tuanya karena mereka anak ke 1, 2 3, 4 dan seterusnya asalkan mereka bukan anak terakhir. Diluar kenyataan bahwa aku anak kedua dan terakhir, aku rasa menjadi dekat dengan orang tua sama sekali bukan aib. Aku bahkan kagum pada anak-anak yang merelakan mimpi mereka untuk tetap bertahan bersama keluarga. Kita, warga yang bangga dengan hidup heterogen dan prestatif harus mulai mengerem ambisi kompetitif kita dan membuka mata, melihat pelajaran dari tempat lain yang lebih dahulu sampai pada puncak kondisi kompetisi. Selalu ada yang dibelakang dalam sebuah kompetisi. Tak sedikit yang merasa tak kompetitif mereduksi dirinya sendiri bahkan memilih mengakhiri hidup. Apakah kita akan terus memakai kacamata kompetisi dalam hidup kita ? Bahkan setelah kacamata  kompetisi sering kali buta dan gagal ?

Ternyata aku tak kunjung menceritakan tentang kandidat. Kali lain sajalah. Aku sedang begitu khawatir dengan kemampuan organ komunikasiku untuk ber-refleksi dan menghasilkan bunyi dan menyebabkan interaksi. Bincang-bincang malam ditemani segelas kopi mungkin akan cukup ringan untuk berbicara tentang ini.

Selamat menikmati paradigma. 

Komentar